Menuliskan Ikan dan Air
Saya melihat ikan kecil berenang sendirian di pinggiran sungai. Biasanya, ikan kecil akan berenang bersama kawanannya guna menghindari pemangsa yang mengincarnya. Tapi waktu itu, saya melihat seekor ikan berenang perlahan, melawan arus, sendirian tanpa kawan. Ikan tersebut terlihat mengkilat saat memiringkan badannya dan sisiknya terkena sinar matahari.
Saya, sering sekali menghampiri sungai belakang rumah saat semua terasa runyam. Mendapatkan ketenangan, kesunyian dan suara angin yang pelan.
Hari ini begitu runyam isi hatiku, kepalaku atau sekalian seluruh badanku. Saya mulai mengasihi diriku yang hina dan tidak pantas menerima segala macam senyum dan bahagia. Bahwa dunia menakdirkanku ada di tengah. Posisi yang begitu sulit untuk melihat kebahagiaan. Seseorang yang melihat dari atas akan melihat segala hal yang membuatnya puas, nyaman, dan tercukupi. Seseorang yang melihat dari bawah, akan mengangankan apa yang dirasakan di atas dan mengambil nikmat yang sudah biasa ada di sekitarnya.
Mataku, ada tepat di tengah. Terombang-ambing dan naik turun. Badanku tenggelam mengambang di bawah sungai, menendang sekuat tenaga agar saya tetap bernafas. Sedangkan yang dia atas hanya sisa kepalaku yang mencoba mengambil udara sebisa mungkin, sambil menyisihkan tenaga untuk kakiku.
Begitulah gambaran kebahagiaanku. Sesak, takut, dan lelah. Takut bahwa kebahagiaan yang kuhirup ternyata belum bisa menyelamatkanku. Kelelahan akan usahaku untuk tetap bertahan. Kedua hal tersebut, membuatku sesak dan tidak ada pilihan lain. Selain tenggelam atau mengambang.
Ikan yang sendiri itu terus berenang sampai dia mencoba menyebrangi arus yang deras. Usahanya gagal. Dia memulai dari belakang lagi, berenang dengan ekor kecilnya perlahan-perlahan. Sampai atas dan ingin menyebrang. Ia hanyut kembali ke bawah.
Saat itu, saya mulai curiga, bahwa tujuan ikan naik ke hulu bukanlah mau menyebrang. Sepertinya dia hanya ingin main prosotan di arus sungai. Sepertinya dia senang melakukaknnya. Berulang kali naik ke hulu dan meluncur ke hilir kembali. Lalu mengulanginya terus menerus.
Sepertinya ikan yang sendiri telah bersahabat dengan arus sungai yang deras. Daripada dia memaksa untuk menyebrang yang sepertinya mustahil. Lebih baik dia bermain dengan arus yang deras untuk perosotan. Ikan tersebut, saya pikir telah menemukan apa yang membuatnya bahagia. Bahwa kesendiriannya bukanlah masalah untuknya, selama masih ada arus untuknya bisa bermain prosotan.
Sudah sampai sore saya terdiam di pinggiran sungai ini. Pikiran saya yang runyam lumayan diurai oleh arus air yang lirih. Bahwa saya harus pulang ke rumah adalah sebuah kenyataan. Menjadi sesak, runyam, lelah, dan takut adalah arus yang menyeramkan.
Mungkin saya bisa menjadi ikan, atau saya yang bergabung dengan ikan.